Dua Catatan dari Remaja yang Pertama Kali Patah Hati
Cita-cita Sederhana yang Akan Kupertahankan
Kelak ketika mati, aku ingin hidup kembali sebagai kucing peliharaanmu atau berubah menjadi kebiasaan buruk yang tidak bisa kausingkirkan. Aku tahu, akan ada orang yang menghadiri pemakamanku hanya untuk memastikan kematianku. Mungkin kau.
Sesekali aku ingin menulis puisi yang cerewet dan cengeng seperti ini untuk meyakinkan siapapun—utamanya aku—bahwa kau cantik bahkan ketika kau sedang tidur di pelukan orang lain. Aku akan selalu menulis puisi tentang kau. Aku benci kata tentang di kalimat sebelum ini. Ia membuat puisi dan kau dipisahkan dinding tebal.
Aku akan selalu menulis puisi. Meskipun kau entah di mana, hilang, dan aku tak memiliki cukup kekuatan untuk menyembuhkan diri sendiri. Aku akan membayangkan kau tidur atau memasak atau membaca novel atau menangis karena kucingmu sakit. Aku ingin mengingatmu sebagai hal-hal sederhana. Aku ingin memasukkanmu ke dalam puisi yang tidak terkunci kata-kata rumit.
Hal-hal sederhana lebih menyakitkan, sumber sunyi yang lebih jernih. Seperti bulan, aku ingin menikmati kesepianku. Aku ingin orang-orang tersenyum melihat kesendirianku.
Aku juga akan selalu memasukkan garam lebih banyak ke masakanku—atau lukaku. Akan kubayangkan diriku selalu menghadapi pernikahan yang gagal. Tidak ada orang yang mampu menampung dan menghibur kesedihanku.
Hingga, pada suatu hari, aku menemukan diriku jatuh cinta kepada laut—ketika aku berjalan sendiri di pantai sambil menggenggam tanganku.
*
Seharusnya Sudah Kuhapus Nomor Teleponnya
Kusimpan nomor teleponnya seperti satu-satunya fotoku bersama ibu. Aku merindukannya. Rindu adalah bencana yang menimpaku setiap kali berada di tempat tidur. Aku selalu ingin menelpon dan menceritakan bagaimana aku menghabiskan waktu sebelum dan sesudah tidur. Aku memasukkan tangan kanan ke balik celana sambil mengingat suaranya menyanyikan lagu yang usianya lebih tua dari kami.
Tapi, aku selalu batal melakukannya.
Ia sudah punya pacar baru. Mereka barangkali berpelukan ketika teleponnya berdering. Ia mengangkat telepon dengan malas dan mengubah kesedihanku jadi bahan tertawaan. Siapa nama pacarnya? Ia mungkin lebih menggairahkan dan beraroma mahal—seperti barang-barang impor.
Aku penasaran di mana mereka berciuman pertama kali. Apakah kamarnya masih ungu—dan bunga-bunga di dindingnya tak pernah layu? Kubayangkan ia sebut namaku dalam hati setiap kali mencium pacarnya. Dari dalam dirinya kusapa pacarnya dengan senyum—yang selalu mudah dipalsukan. Ia balas tersenyum dan mengucapkan terima kasih—yang lebih mudah dipalsukan. Senyum dan terima kasih adalah barang-barang rapuh.
Setelah berciuman, ia menimbang-nimbang perbedaan mulut kami. Dari bawah lidahnya, sungguh, aku ingin melompat. Ciuman tidak pernah mampu mencegah hati remaja lebih kuat dari kaca jendela. Ciuman tidak mampu menghapus cinta pertama. Tapi, aku selalu batal melakukannya.
Aku ingin tinggal di bawah lidahnya—merasakan sakit yang ingin ia sembuhkan dengan ludah pacarnya. Aku ingin berada di sana sebagai merah atau duri atau rahasia yang akan pelan-pelan meleleh membuat pacarnya pergi dan berterima kasih kepadaku.
Ia akan mengingatku dengan kesedihan berlipat ganda. Dan, aku akan menelponnya mengucapkan selamat tinggal. Tapi, ah, seharusnya sudah kuhapus nomor teleponnya.
0 komentar:
Post a Comment
Aturan berkomentar :
1. Penggguna yang terdaftar
2. Gunakan bahasa yang santun dan sopan
3. Dilarang SPAM
4. Dilarang menaruh link aktif dan link porno
5. Jika ada suatu permasalahan lihat komentar lain atau bisa kirim via e-mail